Sebelum membahas mengenai Komponen-komponen objek budaya politik, terlebih dahulu kita kulik sedikit mengenai pengertian dari budaya politik itu sendiri.
Apa sih pengertian budaya politik itu - Budaya politik didefinisikan oleh Almond dan Verba (1963) sebagai suatu sikap orientasi yang khas suatu warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu.
Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu.
Orientasi Sistem
Sebagai sebuah sistem, organisasi politik (negara) hendaknya memiliki orientasi yang bertujuan mengupayakan kesejahteraan warga negara.
Orientasi Individu
Aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu.
Artinya, hakikat politik sebenarnya bukan berorientasi pada individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan kesejahteraan rakyat yang menjadi orientasinya.
Kesejahteraan rakyat menjadi tujuan dari politik dalam negara. Warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.
Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Dalam pemahaman dan pengertian lain, budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat.
Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R.O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Kedua jenis kelompok yang nyata ada dalam Negara Indonesia, dipastikan memiliki pola budaya politik yang berbeda pula. Sementara itu, mengenai objek politik dalam pembahasan mengenai budaya politik menurut Almond dan Verba (1963) mencakup tiga komponen: kognitif, afektif, dan evaluatif.
Komponen Kognitif
Komponen kognitif digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki sistem politiknya secara keseluruhan.
Dalam pemahaman pada komponen ini, lebih menyoroti pada seberapa besar seseorang mengetahui tentang system politik dan bagian-bagian yang ada di dalamnya.
Komponen Afektif
Komponen afektif berbicara tentang aspek perasaan seorang warga negara yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik tertentu.
Sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan seseorang juga dapat mempengaruhi pembentukan perasaan tersebut. Sehingga kondisi tersebut akan terus terbawa dalam perilaku dan cara bersikap terhadap jalannya proses dalam sistem politik.
Komponen Evaluatif
Sementara komponen evaluatif ditentukan oleh evaluasi moral yang dimiliki seseorang. Di sini, nilai moral dan norma yang dianut dapat menentukan serta menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap sistem politik.
Oleh karena itu, diperlukan penanaman nilai-nilai moral bagi masyarakat, agar dapat menilai dan memihak dengan benar dan arif, salah satunya melalui institusi pendidikan.
Ketiga komponen dalam objek politik yang menjadi bagian dari indikator untuk menilai seberapa besar tingkat budaya politik yang melekat dalam warga negara tersebut.
Bila dikaitkan dengan warga negara sebagai individu, maka konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang merupakan dasar semua tindakan.
Baca Juga
Oleh karena itu, dalam menuju arah pembangunan dan modernisasi dalam penyelenggaraan negara, suatu masyarakat akan menempuh jalan yang berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain dan itu terjadi karena peranan kebudayaan sebagai salah satu faktor.
Budaya politik ini dalam suatu derajat yang sangat tinggi dapat membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial politik.
Setiap masyarakat memiliki common sense yang bervarisi dari satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, yang berimplikasi pada perbedaan persepsi tentang kekuasaan, partisipasi, pengawasan (control) sosial, serta kritik masyarakat.
Pengaruh ini akan terus terbawa dalam aktivitas politik dalam pengambilan keputusan politik dalam pemilu, pilkada maupun cara berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, sosial dan pembangunan.
Sehingga keluaran dari proses politik yang berlangsung dapat mencirikan tingkat budaya politik warga masyarakat tersebut.
Oleh Aos Kuswandi