Berbagai Macam Tipe dan Ciri Budaya Politik di Indonesia

Budaya Politik di Indonesia

Budaya Politik Masyarakat Indonesia sangat beragam. Tipe-tipe Budaya politik pada masyarakat sangat dipengaruhi oleh adat masyarakat tersebut. Ada berbagai Pengertian, Macam-Macam, dan Ciri-Ciri Budaya Politik menurut para ahli, salah satunya yang dikemukakan Affan Gaffar.

Tipe dan Ciri Budaya Politik Indonesia Menurut Affan


Menurut Affan Gaffar (2005) dalam teori politiknya mengemukakan bahwa budaya politik masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga: hierarkhi tegar, patronage (patron-client), dan neo patrimonialistik.

Tipe Budaya Politik Hierarki yang Tegar


Hierarki yang tegar memiliki ciri yaitu terdapat jarak antara pemegang kekuasaan dengan rakyat sehingga kalangan birokrat sering menampakkan diri dengan selfimage yang bersifat benevolent.

Seolah-olah mereka sebagai kelompok pemurah, baik hati dan pelindung rakyat, sehingga ada tuntutan rakyat harus patuh, tunduk, dan setia pada penguasa.

Perlawanan terhadap penguasa akan menjadi ancaman bagi rakyat. Lebih tragis lagi, suatu upaya untuk melindungi hak mereka sendiri pun diartikan sebagai perlawanan pula.

Dalam pemahaman budaya politik yang bersifat hierarkhi tegar maka pola hubungan yang terjadi terpisahkan antara penguasa(negara) dan yang dikuasai (rakyat).

Tipe Budaya Politik Patronage


Budaya politik patronage menurut Gaffar sebagai budaya yang paling menonjol di Indonesia. Pola hubungan dalam budaya politik patronage ini bersifat individual, yakni antara si patron dan si client, majikan dan pembantu, atasan dan bawahan.

Antara keduanya terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan kekuasaan, kedudukan, jabatan dengan tenaga, dukungan, materi, dan loyalitas. Budaya politik ini menjadi salah satu penyebab maraknya praktik KKN dan ketidakadilan dalam masyarakat.

Tipe Budaya Politik Neo-Patrimonialistik


Budaya politik neo-patrimonialistik memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi di samping juga memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik.

Ini mengandung pemahaman bahwa negara modern dan rasional akan didukung oleh birokrasi, namun dalam praktiknya pola tradisional dengan bercirikan patrimonialistik tetap ada dalam penyelenggaraan negara.

Dalam model yang ketiga ini pola KKN lebih ‘ditutupi’ melalui tameng kebijakan atau hukum. Sehingga dalam tataran permukaan, masyarakat umum melihat bahwa sistem politik negara berjalan baik. Padahal sejatinya ia masih sebagai budaya politik yang bercirikan patronage.

Secara sederhana dapat diasumsikan bahwa budaya politik masyarakat idealnya tetap sebagai pola orientasi dan sikap yang mampu berkontribusi melalui tindakan-tindakan konstruktif dalam sistem politik.


Pemilihan umum yang damai, pilkada yang tidak bergejolak dan semakin berkurangnya konflik politik di masyarakat, menjadi ciri bahwa budaya politik semakin membaik. Kondisi tersebut akan berdampak secara positif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang terpilih.

Namun fenomena yang sering terjadi, sebagai misal pasca pemilu 2004 atau 2009 atau pilkada sepanjang tahun 2006 sampai 2010 ini, menunjukkan bahwa setelah memenangkan pemilu atau pilkada dan berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan bahkan mereka tidak lagi perduli pada rakyat.

Bila kekuasaan masih didominasi oleh sistem feodal dan patrimonial-irrasional, maka demokrasi yang didambakan oleh setiap orang akan sulit terwujud. Budaya politik yang seperti tersebut sangat tidak mendukung terhadap upaya demokratisasi dalam penyelenggaraan Negara Indonesia.

Dengan demikian sampai saat ini kondisi budaya politik Indonesia masih jauh dari ideal. Ini merupakan permasalahan yang harus terus diupayakan menjadi semakin baik dan terbangun secara konstruktif.
Share this article :
+
Terbaru
« Prev Post
Lawas
Next Post »
Disqus
Blogger
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

No comments